- Back to Home »
- novel sejarah »
- Angsa Putih Dari Bumi Hyang (2)
Posted by : Unknown
Sunday, May 11, 2014
Detak
jantung itu semakin lama semakin kencang seperti alunan ombak yang menghantam
tebing-tebing karang setiap kali dan semakin dahsyat sehingga menyebakan
kekokohannya menjadi berguguran ditelan ganasnya samudra. Demikian juga sang
Betara Syiwa yang sedari awal menyadari bahaya ini, namun tak kuasa menolak
karena pesona sang Dewi Uma terus menghentak dalam jiwanya.
Gugurnya
tebing karang dalam hati sang Betara Sywa ini kemudian membuat pemandangan yang
paling menakjubkan dalam sejarah Kadewatan. Di atas kendaraannya, sang pemimpin
para Dewa ini kemudian melakukan hasrat asmara yang berkobar-kobar layaknya
muda-mudi di Madyapada. Sang Andini sebenarnya memberontak dengan
mengibas-ngibaskan ekornya dan berlarian tak tentu arah, namun kemauan sang
majikan membuatnya tak kuasa untuk melawan. Akhirnya sang Andini hanya bisa
tersenyum kecut menyaksikan hal yang paling dilarang oleh Sang Hyang Wenang.
Tak
lama setelah mealkukan hajat asmara tersebut, tiba-tiba langit yang berwarna
jingga secara mendadak berubak menjadi kehitaman dan deru angin pun semakin
kencang sampai berubah menjadi badai. Sang Andini pun terbang tak tentu arah
mengikuti sang badai bagaikan kapas yang terombang ambing tertiup angin.
Setelah beberapa lama terombang-ambing tiba-tiba cuaca tambah gelap dan
Andinipun merasa ada kekuatan besar yang melemparnya ke tempat yang sangat
jauh. Ketika bangun Andini melihat sang majikan tak jauh ditempatnya terlempar
dan sepertinya jatuh pingsan. Namun, sang majikan perempuannya tidak ia dapati
jatuh kearah mana. Dalam hati kecil sang Andinipun sedih melihat kejadian yang
baru saja berlalu seperti mimpi buruk.
Tak
lama setelah itu sang Batara Syiwa pun bangun dari pingsannya. Sejenak ia
tertegun dan kemudian menengok kiri kanan mencari sang istri tercinta yang
tidak tahu terlepar kemana. Melihat sekelilingnya hanya di dapati pasir yang
terhampar seperti samudra tak berujung dan tak jauh dari situ berdiri tegak
sang Andini, binatang yang paling Ia sayangi yang telah setia menghantar
kemanapun. Setelah lama tak menemukan sosok yang ia cari, sang Betara Sywa pun
kemudian mendekati sang Andini yang juga sedang berdiri terheran-heran.
“Andini,
tahukan kamu kemana gerangan terleparnya istriku Dewi Uma?”, Tanya sang Betara
Sywa.
Andini
pun hanya bias menggelengkan kepala pertanda ia tidak mengetahui keberadaan
junjungannya tersebut. Dalam keadaan kebingungan tersebut keduanya pun kemudian
mencari kesana kemari sampai berhari-hari namun tak kunjung di dapatkan kabar
sang Dewi. Baru setelah 41 hari ditengah jalan sang Betara Sywa berpapasan
dengan sang Betara Narada yang merupakan kakak sekaligus Patih bagi kerajaan
Kahyangan Suralaya. Nampaknya dari kejauhan sang Betara Narada tampak
tergesa-gesa dan kebingungan dan bukan lang kepalang hembiranya ketika dua
saudara ini bertemu.
“Sampurasun
Kakang Patih, kenapa Kakang dari jauh kelihatan seperti orang yang kebingungan
mencari sesuatu?”, demikian teriak Betara Sywa.
Yang
ditanyapun tak kalah kagetnya, Patih kerajaan Kahyangan inipun menjawab dengan
muka gembira bercampur heran karena tak disangka orang yang dicarinya ada di
depan mata.
“Iya
Adik Prabu Betara Girinata, saya memang gembira sekali sekaligus heran tentang
keberadaan Adik Prabu di tempat ini,” demikian jawab sang Betara Narada.
Kemudian
sang Betara Sywapun bercerita kejadian yang beberapa waktu lalu dialaminya,
termasuk badai besar yang memisahkan dirinya dengan Dewi Uma. Mendengar hal
tersebut, sang Betara Narada pun mengangguk-angguk tanda mengerti. Tak lama
setelah sang Betara Syiwa memaparkan kejadian yang dialaminya tersebut,
kemudian sang Betara Naradapun menyembah sejenak dan mohon ijin untuk
menyampaikan suatu kabar penting.
“Ampun
Adik Prabu, saya beberapa waktu yang lalu mendapatkan perintah dari Hyang
Wenang untuk disampaikan”, demikian Betara Narada memaparkan.
“silahkan
Kakang Patih”, demikian jawab sang Baetara Syiwa.
“Beberapa
waktu lalu ketika Kakang bersemadi, tiba-tiba muncul Hyang Wenang dan
mencertakan tentang kejadian hilangnya Adik Prabu dari Kadewatan,” ujar sang
Betara Narada memulai menguraikan perintah Hyang Wenang.
“lantas?,”
suara Betara Syiwa seperti tersekat di kerongkongannya.
“Ini
adalah peringatan keras dari Hyang Wenang Adik Prabu dan Betari Uma pun dihukum
buang ke tempat bernama “Setra Ganda
Mayit” sebuah tempat pekuburan bagi para denawa dan raksasa yang tidak mau
bertobat,” tambah sang Betara Narada.
“karena
pantangan itu telah dilanggar, Adik Prabu tidak boleh menemui sang Dewi kecuali
pada Jum’at Kliwon dalam setiap waktunya,” demikian urai Betara Narada yang
dalam hati sebenarnya tidak sampai hati untuk menyampaikan kabar hukuman yang
sangat berat tersebut.
Setelah
kejadian tersebut di atas, sanga Betara Syiwapun kemudian balik ke istana
Jonggring Salaka tanpa di damping oleh sang istri Betari Uma yang harus menjaga
istana barunya yaitu “Setra Ganda Mayit”.
Oleh karena kejadian tersebut, maka pantangan tersebut kemudian disebarkan
tidak hanya untuk para Dewa tetapi juga manusia yang ada di Madyapada sehingga
pergantian waktu menjelang matahari terbenam tersebut sangat menakutkan bagi
kalangan manusia maupun para Dewa.
Bersambung
Penulis Mansur Hidayat.