Posted by : Unknown Sunday, May 11, 2014






Detak jantung itu semakin lama semakin kencang seperti alunan ombak yang menghantam tebing-tebing karang setiap kali dan semakin dahsyat sehingga menyebakan kekokohannya menjadi berguguran ditelan ganasnya samudra. Demikian juga sang Betara Syiwa yang sedari awal menyadari bahaya ini, namun tak kuasa menolak karena pesona sang Dewi Uma terus menghentak dalam jiwanya.
Gugurnya tebing karang dalam hati sang Betara Sywa ini kemudian membuat pemandangan yang paling menakjubkan dalam sejarah Kadewatan. Di atas kendaraannya, sang pemimpin para Dewa ini kemudian melakukan hasrat asmara yang berkobar-kobar layaknya muda-mudi di Madyapada. Sang Andini sebenarnya memberontak dengan mengibas-ngibaskan ekornya dan berlarian tak tentu arah, namun kemauan sang majikan membuatnya tak kuasa untuk melawan. Akhirnya sang Andini hanya bisa tersenyum kecut menyaksikan hal yang paling dilarang oleh Sang Hyang Wenang.
Tak lama setelah mealkukan hajat asmara tersebut, tiba-tiba langit yang berwarna jingga secara mendadak berubak menjadi kehitaman dan deru angin pun semakin kencang sampai berubah menjadi badai. Sang Andini pun terbang tak tentu arah mengikuti sang badai bagaikan kapas yang terombang ambing tertiup angin. Setelah beberapa lama terombang-ambing tiba-tiba cuaca tambah gelap dan Andinipun merasa ada kekuatan besar yang melemparnya ke tempat yang sangat jauh. Ketika bangun Andini melihat sang majikan tak jauh ditempatnya terlempar dan sepertinya jatuh pingsan. Namun, sang majikan perempuannya tidak ia dapati jatuh kearah mana. Dalam hati kecil sang Andinipun sedih melihat kejadian yang baru saja berlalu seperti mimpi buruk.
Tak lama setelah itu sang Batara Syiwa pun bangun dari pingsannya. Sejenak ia tertegun dan kemudian menengok kiri kanan mencari sang istri tercinta yang tidak tahu terlepar kemana. Melihat sekelilingnya hanya di dapati pasir yang terhampar seperti samudra tak berujung dan tak jauh dari situ berdiri tegak sang Andini, binatang yang paling Ia sayangi yang telah setia menghantar kemanapun. Setelah lama tak menemukan sosok yang ia cari, sang Betara Sywa pun kemudian mendekati sang Andini yang juga sedang berdiri terheran-heran.
“Andini, tahukan kamu kemana gerangan terleparnya istriku Dewi Uma?”, Tanya sang Betara Sywa.
Andini pun hanya bias menggelengkan kepala pertanda ia tidak mengetahui keberadaan junjungannya tersebut. Dalam keadaan kebingungan tersebut keduanya pun kemudian mencari kesana kemari sampai berhari-hari namun tak kunjung di dapatkan kabar sang Dewi. Baru setelah 41 hari ditengah jalan sang Betara Sywa berpapasan dengan sang Betara Narada yang merupakan kakak sekaligus Patih bagi kerajaan Kahyangan Suralaya. Nampaknya dari kejauhan sang Betara Narada tampak tergesa-gesa dan kebingungan dan bukan lang kepalang hembiranya ketika dua saudara ini bertemu.
“Sampurasun Kakang Patih, kenapa Kakang dari jauh kelihatan seperti orang yang kebingungan mencari sesuatu?”, demikian teriak Betara Sywa.
Yang ditanyapun tak kalah kagetnya, Patih kerajaan Kahyangan inipun menjawab dengan muka gembira bercampur heran karena tak disangka orang yang dicarinya ada di depan mata.
“Iya Adik Prabu Betara Girinata, saya memang gembira sekali sekaligus heran tentang keberadaan Adik Prabu di tempat ini,” demikian jawab sang Betara Narada.
Kemudian sang Betara Sywapun bercerita kejadian yang beberapa waktu lalu dialaminya, termasuk badai besar yang memisahkan dirinya dengan Dewi Uma. Mendengar hal tersebut, sang Betara Narada pun mengangguk-angguk tanda mengerti. Tak lama setelah sang Betara Syiwa memaparkan kejadian yang dialaminya tersebut, kemudian sang Betara Naradapun menyembah sejenak dan mohon ijin untuk menyampaikan suatu kabar penting.
“Ampun Adik Prabu, saya beberapa waktu yang lalu mendapatkan perintah dari Hyang Wenang untuk disampaikan”, demikian Betara Narada memaparkan.
“silahkan Kakang Patih”, demikian jawab sang Baetara Syiwa.
“Beberapa waktu lalu ketika Kakang bersemadi, tiba-tiba muncul Hyang Wenang dan mencertakan tentang kejadian hilangnya Adik Prabu dari Kadewatan,” ujar sang Betara Narada memulai menguraikan perintah Hyang Wenang.
“lantas?,” suara Betara Syiwa seperti tersekat di kerongkongannya.
“Ini adalah peringatan keras dari Hyang Wenang Adik Prabu dan Betari Uma pun dihukum buang ke tempat bernama “Setra Ganda Mayit” sebuah tempat pekuburan bagi para denawa dan raksasa yang tidak mau bertobat,” tambah sang Betara Narada.
“karena pantangan itu telah dilanggar, Adik Prabu tidak boleh menemui sang Dewi kecuali pada Jum’at Kliwon dalam setiap waktunya,” demikian urai Betara Narada yang dalam hati sebenarnya tidak sampai hati untuk menyampaikan kabar hukuman yang sangat berat tersebut.
Setelah kejadian tersebut di atas, sanga Betara Syiwapun kemudian balik ke istana Jonggring Salaka tanpa di damping oleh sang istri Betari Uma yang harus menjaga istana barunya yaitu “Setra Ganda Mayit”. Oleh karena kejadian tersebut, maka pantangan tersebut kemudian disebarkan tidak hanya untuk para Dewa tetapi juga manusia yang ada di Madyapada sehingga pergantian waktu menjelang matahari terbenam tersebut sangat menakutkan bagi kalangan manusia maupun para Dewa. 
Bersambung 
Penulis Mansur Hidayat.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

- Supported © By TOA and Suryadin Laoddang Powered by Pembicara Internet Marketing and Jual Mukena -