- Back to Home »
- sejarah »
- Semangat Ke-Indonesian Menghasilkan Ide-ide yang Menyegarkan
Posted by : Unknown
Sunday, May 11, 2014
Proklamasi 7 Agustus
1945 adalah sebuah tonggak penting dalam sejarah politik Hindia Belanda yang
kemudian berubah nama menjadi Indonesia, sebuah nama yang menyatakan sebuah
sinkretisme antara semangat ke-nusantaraan yang pribumi dan ungkapan barat
tentang suatu wilayah yang berada di kepulauan sebelah selatan Asia. Pada masa
lalu, nama wilayah di kepulauan ini disebut “Nusantara”
yang artinya pualau diantara 2 benua dan kemudian James R. Logan, seorang
etnograf dari Scotlandia pada tahun 1847 menyebut nama Indonesia.
Dalam kegamangan antara
prinsip ke-nusantara-an dan pengaruh barat yang banyak memperngaruhi sendi
kehidupan tersebut, maka semangat proklamasi haruslah ditegakkan
setinggi-tinginya bagi para penghuni “Nusantara” yang kemudian menyebut
dirinya “Indonesia” tersebut. Kegamangan tentang prinsip
ke-nusantara-an tersebut dapat dilihat dari sudut pandang politik seperti masih
adanya campur tangan Belanda melalu Republik Indonesia Serikat (RIS) yang
kemudian baru dapat di enyahkan setelah 17 Agustus 1950 dengan pembubaran RIS.
Dalam bidang ekonomi juga kita temui kegamangan ke-nusantara-an lewat
bercokolnya kekuatan-keuatan ekonomi asing yang tetap diwujudkan dalam
perusahaan-perusahaan Belanda yang tak tersentuh misalnya dalam bidang
perkebunan, pelayaran dan pertambangan yang kemudian di enyahkan lewat
“nasionalisasi” perusahaan tersebut ke tangan Republik Indonesia. Namun
rupa-rupanya semangat nasionalisasi ini tidak bertahan lama karena setelah masa
Orde Baru, investasi asing dibuka sebesar-besarnya lewat Undang-undang
Penanaman Modal Asing (PMA) tanggal 1 Januari 1967.
Disamping kedua faktor
tersebut, ada faktor pendidikan yang memerlukan perhatian ekstra. Perlu
diketahui bahwa setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia masih mempunyai
2 perguruan tinggi yaitu Universitas Gajah Mada di Yogyakarta dan Universitas
Islam Indonesia. Oleh karena itu langkah berikutnya adalah nasionalisasi
pendidikan dengan menjadikan Universiteit van Batavia menjadi Universitas
Indonesia. Nasionalisasi pendidikan ini
dimaksudkan supaya anak didik dapat lebih mencintai negeri yang baru merdeka
yang bernama Republik Indonesia. Dalam bidang pendidikan harapan besar ini
diemban oleh ilmu sejarah. Namun dalam kenyataannya buku-buku pelajaran masih
memakai karya FW Stapel yang lebih menonjolkan peranan orang-orang Belanda.
Oleh karena tanggung
jawab besar tersebut dan ketiadaan ahli sejarah Indonesia pada waktu itu,
berbagai macam ilmuwan Indonesia berkumpul di Yogyakarta untuk membuat seminar
Nasional Sejarah Indonesia yang pertama pada tanggal 14-18 Desember 1957. Dua
universitas terkemuka yaitu Universitas Gajah Mada dan Universitas Indonesia
menjadi panitia bersama untuk melaksanakan seminar yang bertempat di Siti Hinggil
kraton Yogyakarta yang di sekat seadanya dan diikuti 800 peserta tersebut. Ilmuwan-ilmuwan
Indonesia dari berbagai cabang ilmu pengetahuan tampil untuk menjadi pembicara
seminar seperti Prof. Muhammad Yamin yang merupakan ahli hukum, Prof. Sukanto yang
juga seorang ahli hukum, Sudjatmoko seorang yang mendalami filsafat.
Satu-satunya pemakalah yang merupakan sejarawan Indonesia pada waktu itu hanya
Drs. Sartono Kartodirdjo baru menyelesaikan studinya.
Dalam seminar tersebut
ada 2 isu yang sangat mengemuka misalnya saja isu tentang “Periodisasi” atau
pembabakan sejarah antara Prof. Sukanto dan Drs. Sartono Kartodirdjo. Disamping
itu isu tentang cara pandang dalam penulisan sejarah (Historiografi) juga
mendapatkan perhatian yang cukup serius. Dalam hal ini ada 2 pendapat yang
mengemuka yaitu Prof. Muhammad Yamin dengan historiografi yang “Indonesia
Centris” dan juga Sudjatmoko dengan historiografi “sejarah sebagai ilmu”.
Dalam hal ini pendapat Prof. Yamin disetujui untuk digunakan dalam penulisan
sejarah Indonesia yang nantinya akan di terapkan ke sekolah-sekolah.
Namun perjuangan
pendidikan Indonesia untuk menanamkan karakter ke-nusantara-an dan ke-Indonesia-an
itu belum selesai begitu saja. Hal ini dikarenakan kurikulum pendidikan di
Indonesia masih terasa meng-anak tirikan ilmu sejarah hingga belajar sejarah
Indonesia dianggap sesuatu yang menyita waktu. Oleh karena itu banyak kurikulum
yang menjadikan ilmu sejarah sebagai pelengkap penderita dalam mata pelajaran
yang hanya di sisihkan 1-2 jam pelajaran dalam seminggu.
Melihat menurunnya semangat
ke-nusantara-an dan ke-Indonesia-an tersebut, maka para penggagas keurikulum
2013 membuat langkah yang sangat revolusioner dengan menjadikan kembali ilmu
sejarah sebagai salah satu pelajaran yang wajib di tempuh para siswa. Pelajaran
sejarah diharapkan dapat membuat “sense of belonging Indonesia” menjadi
bangkita karena belajar dari kehidupan dan jatuh bangunnya generasi terdahulu
akan membuat anak didik mengetahui, betapa mahalnya arti sebuah nama dan harga
diri “nusantara”
dan “Indonesia”.
Tentu saja saat ini
jumlah sejarawan di Indonesia sudah puluhan ribu di banding1 di tahun 1957.
Oleh karena itu, dengan semangat seminar sejarah tahun 1957, semoga Seminar
Sejarah Nasional di Yogyakarta tahun 2014 ini akan menghasilkan ide-ide
menyegarkan seperti seminar sebelumnya.