- Back to Home »
- Resensi »
- Resensi Buku: Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia
Posted by : Unknown
Sunday, April 27, 2014
Tahun Terbit : 2014
Penulis : Harry Poeze
Penulis : Harry Poeze
Pasca Proklamasi 17
Agustus 1945 adalah suatu waktu dimana perkembangan sosial dan politik
masyarakat Indonesia begitu dinamis. Semangat untuk bebas dari belenggu
penjajahan Belanda, dibarengi dengan pola pemikiran radikalisme membayangi
pikiran banyak pejuang kemerdekaan terutama para pemuda. Peristiwa penculikan
Sukarno- Hatta oleh para pemuda ke Rengas Dengklok menjadi momentum betapa
garis radikal tersebut telah membawa masyarakat Indonesia menuju Proklamasi dan
Revolusi Indonesia selama 4 tahun pertama berdirinya Republik Indonesia.
Bulan-bulan pertama
berdirinya, Republik Indonesia mulai di uji oleh kedatangan tentara Sekutu
dibawah komando pasukan Inggris yang mulai mendarat di Jakarta pada……….1945.
Pemerintah Republik Indonesia belum mengambil sikap yang jelas dalam masalah
ini sehingga pada tanggal 19 September 1945 atas inisiatif seorang tokoh
gerakan bawah tanah yang berpengamalaman bernama Tan Malaka, rapat raksasa yang bertujuan untuk menunjukkan
dukungan pada Republik yang masih muda ini di lakukan. Rapat raksasa yang
dilakukan di lapangan IKADA ini diikuti
oleh sekitar 200 ribuan orang. Rapat besar ini telah membuat banyak kalangan di
seluruh penjuru tanah air tergugah sehingga menimbulkan aksi-aksi pembelaan
terhadap republik Indonesia makin meluas. Contoh nyata adalah rakyat dan pemuda
Surabaya yang kemudian melakukan perawanan pada tentara sekutu.
Lembar demi lembar
peristiwa politik dilalui oleh Republik Indonesia yang masih muda. Pada tanggal
1 Nopember 1945 kekuasaan pemerintahan dijalankan oleh Perdana Mentri. Sutan
Syahrir yang merupakan tokoh gerakan bawah tanah melawan fasisme Jepang dan
seorang tokoh yang bisa diterima oleh Amerika dan Inggris terpilih sebagai
Perdana Mentri yang pertama. Namun kekalahan diplomasi dalam perundingan
Linggarjati telah membuat kepercayaan pada Bug kecil ini merosot.
Pada tanggal 3 Juli
1946 terjadi peristiwa penculikan Perdana Mentri Sutan Syahrir oleh sekelompok
pasukan bersenjata yang kemudian bisa diselesaikan ketika Presiden Sukarno
turun tangan. Peristiwa penculikan ini kemudian menjadi suatu momentum untuk
menahan tokoh-tokoh radikal seperti Tan Malaka, Mohammad Yamin, Pandu
Kartawiguna, Sayuti Melik, Sumantoro, Adam Malik dan masih banyak lagi.
Penahanan tanpa pengadilan inilah yang membuat peran tokoh-tokoh radikal ini tersingkir
dalam peta politik Republik Indonesia pada waktu itu.
Republik Indonesia yang
masih muda tersebut, kemudian mendapat ujian dari keinginan pihak Belanda yang
tidak ingin jajahannya lepas begitu seja. Dengan segala cara Belanda kemudian
datang ke Indonesia seperti ikut menjadi bagian tentara sekutu yang datang untuk
melucuti dan memulangkan tentara Jepang. Setelah Sekutu pulang pihak Belanda
mulai menempatkan pasukanya ke segenap wilayah Republik Indonesia. Menghadapi
kedatangan Belanda dengan pasukan yang lengkap ini, para pemimpin Republik
Indonesia terpecah dalam 2 pandangan besar. Pandangan pertama berpendapat bahwa dengan pasukan bersenjatanya yang
lengkap, bangsa Indonesia tidak mampu menghadapi perang frontal dengan Belanda.
Oleh karena itu, pihak Republik harus menggunakan kekuatan diplomasi
internasional yang bisa dilakukan lewat perundingan. Pandangan politik
diplomasi ini di ikuti oleh pemimpin-pemimpin utama Republik Indonesia seperti Mohammad
Hatta, Syutan Syahrir dan kemudian juga Presiden Sukarno. Pandangan kedua melihat kuatnya dukungan seluruh
rakyat Indonesia terhadap cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Dukungan rakyat
ini telah mampu membuat gentar pihak Belanda meskipun dengan senjata lengkap,
seperti yang di contohkan oleh rakyat Surabaya waktu melawan sekutu pada
tanggal 10 Nopember 1945. Masuk dalam kategori ini tokoh-tokoh oposisi utama
yang umumnya beraliran komunis seperti Tan Malaka dengan semboyan “Merdeka
100%”, yang di dukung oleh kalangan muda seperti Sukarni, Chaerul Saleh, Ibnu
Parna, Adam Malik dan sebagainya.
Peta politik Indonesia
pada masa Revolusi (1945-1950)diwarnai oleh pertentangan pendapat antara kedua
pandangan tersebut. Dalam perkembangan dilapangan, penganut 2 pandangan
tersebut bisa bekerja sama sampai berhadapan baik propaganda maupun fisik.
Dalam “Peristiwa Madiun 1948” yang merupakan akumulasi dari banyaknya
pertentangan ideologi maupun kepentingan politik kepartaian kemiliteran maupun
politik internasional dimana Partai Komunis Indonesia pimpinan Muso yang
kemudian di dukung oleh Amir Syarifudin melakukan provokasi pada pemerintahan
Perdana Mentri Hatta. Kedua kelompok
yang berbeda pendapat baik di kubu Hatta maupun Tan Malaka bersatu padu untuk
menghentikan aktivitas Provokasi Muso dan Amir Syarifudin. Setelah “Peristiwa
Madiun” ini Tan Malaka kemudin di bebaskan.
Bersatunya kedua
kelompok yang berbeda pandangan dalam menyikapi kehadiran Belanda di Indonesia
ini kemudian renggang kembali ketika menanggapi isu perjuangan melawan Belanda.
Pada sekitar bulan November- Desember 1948, isu “Politik Diplomasi” maupun
“Politik Merdeka 100%” mengemuka kembali dalam perdebatan yang sangat panas
dimana Tan Malaka cenderung menyerang ketidak berdayaan pemerintah Hatta dengan
diplomasinya. Kekalahan politik diplomasi ketika “Perjanjian Linggarjati” dan
“Perjanjian Renville” membuat kewibawaan pemrintah menjadi bulan-bulanan media
massa ketika itu. Hal ini kemudian di tambah dengan isu “Aide Memoire” Hatta dan
kebijakan “Reorganisasi dan Rasionalisasi” yang mana memangkas kewenangan para
pejuang dan lasykar pemuda untuk melawan Belanda. Para lasykar yang jumlahnya
ratusan ribu tersebut diperintahkan untuk melucuti senjatanya sendiri dan
jumlah prajurit TNI diperkecil menjadi hanya 20.000 orang. Perkembangan politik
pada akhir tahun 1948 tersebut telah banyak menimbulkan ketidak wibawaan
pemerintah Hatta yang kemudian dimanfaatkan oleh kelompok radikal.
Kelompok Radikal di
bawah Tan Malaka telah memprediksi bahwa kekgagalan politik diplomasi akan
membuat pihak Belanda menyerang Republik Indonesia dengan kekuatan militernya.
Oleh karena itu Tan Malaka kemudian mempersiapkan terbentuk sebuah partai
politik radikal dengan nama “Murba” yang berarti “Musyawarah Rakyat Besar” atau
dapat juga menjadi sebutan bagi “kaum kecil”. Sebagai ketua di tunjuk Sukarni
yang memang mewakili elemen pemuda radikal dan Tan Malaka sendiri duduk sebagai
sesepuh partai. Setelah mendirikan organ partai, Tan Malaka kemudian membuat
arah dan gambaran perjuangan dengan membuat tulisan berjudul “Gerpolek” atau
“Gerilya Politik Ekonomi”. Dalam tulisan ini, Tan Malaka membuat gambaran
tentang persiapan yang harus dilakukan seluruh elemen rakyat ketika Belanda
menyerang. Rakyat Indonesia mesti melawan dan tidak boleh tunduk maupun bekerja
sama dengan Belanda. Perlawanan gerilya dimana-mana harus dikobarkan baik
dibidang politik dan ekonomi.
Ramalan politik Tan Malaka
terbukti benar ketika pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda menyerang kota
Yogyakarta dan memulai Agresi militernya. Tan Malaka sebagai seorang ideology
politik merdeka 100% memenuhi janjinya untuk turun memimpin perang gerilya
bersema-sama rakyat dengan menuju daerah Kediri yang dikawal oleh Batalyon
dibawah pimpinan Mayor Zaenal Sabarudin. Menyerahnya para pemimpin pemerintahan
seperti Sukarno, Hatta dan Syahrir kepada Belanda dijadikan serangan untuk
menjatuhkan kewibawaan pemerintah oleh kelompok Radikal di bawah pimpinan Tan
Malaka. Bagi Tan Malaka, rakyat Indonesia tidak boleh tunduk kepada pemimpin
yang telah menyerah kepada Belanda dan ia sendiri sebagai seorang yang
berpengalaman dalam politik akan memimpin perjuangan Revolusi bersama masyarakat.
Slogan dan provokasi
Tan Malaka ini membuat pimpinan TNI Jawa Timur seperti Kolonel Sungkono dan
juga pimpinan TNI Kediri Letkol. Surachmat menjadi kurang simpati. Memang dalam
tubuh TNI sendiri para pimpinannya seperti Jendral Sudirman lebih memilih jalan
anti kompromi dan merdeka 100% seperti yang ditekankan kelompok Tan Malaka.
Akan tetapi ketika memilih suatu titik perjuangan, TNI lebih memilih mengikuti
pemerintahan yang sah. Dalam hal ini, Tan Malaka gagal memperoleh dukungan
sepenuhnya dari TNI. Disamping itu Mayor Zaenal Sabarudin sebagai pengawal Tan
Malaka juga dikenal sebagai TNI yang kurng taat pada pimpinan dan sering
melakukan aksi sendiri terhadap Belanda. Oleh karena itu dua tersebut,
kedudukan politik Tan Malaka semakin genting dan juga kedudukan militernya yang
tidak di dukung oleh TNI menyebabkan tokoh ini harus terasing dalam
perjuangannya melawan Belanda. Dari akumulasi pertentangan politik dan militer
tersebut, persembunyian Tan Malaka kemudian diserbu oleh TNI pimpinan Sukoco dan
tokoh ini kemudian di eksekusi di desa Selopanggung di lereng pegunungan Kelud
yang sangat terpencil. Sampai sekarang kita tidak mengetahui apakah eksekusi
ini atas perintah Letkol Surachmat, Kolonel Sungkono maupun pimpinan politik
yang lebih tinggi lagi.
Buku ini sangat bagus
karena menggambarkan suasana dan psikologi para tokoh politik maupun militir
Republik Indonesia ketika menghadapi Agresi Militer Belanda II. Banyak data dan
informasi yang dikemukakan oleh Hary A. Poese sebagai penulis asing telah juga
menjamin kenetralan bahwa buku ini tidak bermaksud untuk mendukung politik
tertentu. Para sejarawan, pengamat politik dan mahasiswa sangat perlu membaca
buku ini sebagai pelengkap dan bahan untuk referensi bagi politik Indonesia.
Di resensi oleh : Mansoer Hidayat, Ketua LSM MPPM Timur dan Dosen Sejarah IKIP PGRI Jember
Di resensi oleh : Mansoer Hidayat, Ketua LSM MPPM Timur dan Dosen Sejarah IKIP PGRI Jember
waaahhhh...
ReplyDeletetambah mantap aja ni Mbak Lutfi dan Mas Mansor..
semakin hari semakin mantap..
tulisannya juga bagusss...