Tim Dosen Prodi Pariwisata UGM Mengunjungi Situs Candi Betari Durga






Monday, September 1, 2014
Posted by Unknown

Tafsir Baru Kesejarahaan Ken Arok


Judul Buku : Tafsir Baru Kesejarahaan Ken Arok

Penulis : Suwardono
Penerbit : Ombak
Tahun Terbit : Juni-2013

Ken Arok atau yang dikenal juga dengan nama Ken Angrok namanya begitu melegenda dalam pentas sejarah nasional. Pria dari abad 13 ini menjelma menjadi penguasa dan pendiri Dinasti Rajasa dari yang semula hanyalah berasal dari golongan petani.

Asal usul Ken Arok sendiri sebagai pendiri suatu Dinasti Rajasa masih menjadi polemik. Dalam beberapa sumber historiografi tradisional (Kitab Pararaton dan Negarakertagma) disebutkan bahwa Ken Angrok merupakan anak dari Dewa Brahma hasil hubungannya dengan Ken Ndok. Lantas benarkah bahwa Ken Angrok merupakan anak biologis dari Dewa Brahma.


Buku yang berjudul Tafsir Baru Kesejarahan Ken Arok berusaha menghadirkan tafsir baru mengenai siapa sebenarnya sosok Ken Arok. Suwardono sang penulis buku berupaya memunculkan bukti-bukti baru bahwa Ken Arok bukanlah sekedar dongen dan miitos belaka tetapi benar keberadaanya. Suwardono juga menginterprestasikan bahwa sebenarnya Ken Arok bukanlah anak dari Dewa Brahma melainkan anak dari Pejabat, Penguasa pada waktu itu. Pencatutan nama Dewa Brahma menurut Suwardono lebih untuk menutupi siapa sebenarnya yang menjadi ayah bilogis dari Ken Arok.

Dari sinilah Suwardono menafsrikan bahwa Ken Arok yang melakukan perombakan besar dan juga mengubah tradisi sosial sebenarnya bukanlah anak dari golongan petani melainkan anak dari poejabat dan penguasa waktu itu. Dengan pertimbangan bahwa kondisi sosial waktu itu tidaklah memungkinkan seseorang dari kasta yang rendah bisa melakukan perombakan yang luar biasa besar. Bahkan Ken Arok berhasil menjadi raja besar di tanah Jawa serta menjelma menjadi pendiri dinasti baru.

Dalam buku terbaru ini Suwardono juga berupaya mengidentifikasi kembali nama-nama daerah yang disebutkan dalam data-data tekstual Negarakertagam dan Pararaton. Mulai dari tempat kelahiran Ken Arok yang disebut-sebut berada di timur lereng Gunung Kawi sampai tempat pendarmaan dari Ken Arok.

Suwardono pun menyebutan nama-nama tempat di timur lereng Gunung Kawi sampai ke wilayah kota Malang saat ini yang mempunya peran penting masa-masa Ken Arok menyusun kekuatan untuk merombak tradisi dan menjadi raja besar.
Sunday, May 25, 2014
Posted by Unknown
Tag :

Candi Kidal Di Tengah Padatnya Pemukiman Dan Peternakan Ayam

Bangunan candi dari batuan andesit tampak berdiri megah nan kokoh dari jalan desa RejoKidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang sebuah jalan sempit menghubungkan candi dan jalan desa rejo Kidal. Candi yang konon merupakan tempat pendarmaan dari Raja Singasari yang bernama Anusopati memang terletak di tengah-tengah pemukiman yang pada penduduk. Selain pemukiman yang padat penduduknya, suasana di sekitar Candi Kidal ini agak terganggu dengan bau tidak sedap dari peternakan ayam yang terletak tak jauh dari lokasi candi. Kondisi semacam ini tentu saja sangat menganggu wisatawan yang akan mengunjungi Candi Kidal.

Untuk menuju Candi Kidal dari arah kota Malang bisa ditempuh sejauh 28 kilometer menuju arah selatan, dan bisa dicapai dengan kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat. Dan lokasi Candi Kidal ini susah ditempuh dengan angkutan umum.

Dalam Kitab Pararaton menyebutnya sebagai tempat meninggalnya Raja Anusapati. Sementara pada Kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca (1365) menyinggungnya sebagai pendarmaan yang pernah dijejaki Hayam Wuruk. Dalam kosakata Jawa, “Kidal” memiliki arti “kiri” atau “selatan”dari asal kata “kidul.” Ada anggapan bahwa lokasi di mana candi berada dinamakan “Kidal” karena sang raja tak lain adalah anak tiri dari Raja Singosari, Sri Ranggah Rajasa (Ken Angrok). Sedangkan arah selatan mengacu pada keberadaan candi di arah selatan agak ke kiri dari pusat Singosari. Sebagai candi pendarmaan raja, Kidal pun banyak menyimpan kisah Anusapati.

Anusapati merupakan anak dari Ken Dedes dan suaminya terdahulu Akuwu Tumapel Tunggul Ametung. Anusapati merupakan raja yang memerintah Singosari tahun 1227-1248 (atau tahun saka 1119-1170) setelah membunuh Ken Arok yang telah dia ketahui bahwa Ken Arok merupakan ayah tirinya.
 
Perebutan kekuasaan pun tidak dapat dihindari lagi trah Tunggul Ametung-Dedes dengan Trah Arok-Ken Umang, Anusopati yang telah membunuh Ken Arok di balas oleh Tohjaya anak dari Ken Arok dengan Ken Umang. Anusopati akhirnya gugur dan 12 tahun kemudian di dharmakan di Candi Kidal.

Sebagai candi pribadi, Candi Kidal memiliki corak Hindu. Tahun 1901, Belanda bernama Brumund dan JLA. Brandes sempat mengunjungi lokasi. Candi kemudian dikonstruksi oleh B. De Haan di tahun 1925. Sedangkan perbaikan yang kedua, dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tahun 1986 sampai 1990. Sekarang, candi yang terbuat dari batu andesit dengan relief ini memiliki panjang 10,8 meter, lebar 8,36 meter, dan tinggi 12,26 meter (diduga tinggi sebenarnya mencapai 17 meter). Bagian kaki candi memiliki penggambaran kehidupan dan alam manusia (Bhurloka), bagian badan mewakili langit (Bwahloka), dan puncaknya adalah Swahloka atau kahyangan. Begitulah masyarakat era Singosari menjelaskan mengenai kosmologi dari semesta dengan bahasa dan penjelasan yang sederhana, tetapi bermakna dalam.


Saturday, May 24, 2014
Posted by Unknown
Tag :

Semangat Ke-Indonesian Menghasilkan Ide-ide yang Menyegarkan




Proklamasi 7 Agustus 1945 adalah sebuah tonggak penting dalam sejarah politik Hindia Belanda yang kemudian berubah nama menjadi Indonesia, sebuah nama yang menyatakan sebuah sinkretisme antara semangat ke-nusantaraan yang pribumi dan ungkapan barat tentang suatu wilayah yang berada di kepulauan sebelah selatan Asia. Pada masa lalu, nama wilayah di kepulauan ini disebut “Nusantara” yang artinya pualau diantara 2 benua dan kemudian James R. Logan, seorang etnograf dari Scotlandia pada tahun 1847 menyebut nama Indonesia.
Dalam kegamangan antara prinsip ke-nusantara-an dan pengaruh barat yang banyak memperngaruhi sendi kehidupan tersebut, maka semangat proklamasi haruslah ditegakkan setinggi-tinginya bagi para penghuni “Nusantara” yang kemudian menyebut dirinya “Indonesia” tersebut. Kegamangan tentang prinsip ke-nusantara-an tersebut dapat dilihat dari sudut pandang politik seperti masih adanya campur tangan Belanda melalu Republik Indonesia Serikat (RIS) yang kemudian baru dapat di enyahkan setelah 17 Agustus 1950 dengan pembubaran RIS. Dalam bidang ekonomi juga kita temui kegamangan ke-nusantara-an lewat bercokolnya kekuatan-keuatan ekonomi asing yang tetap diwujudkan dalam perusahaan-perusahaan Belanda yang tak tersentuh misalnya dalam bidang perkebunan, pelayaran dan pertambangan yang kemudian di enyahkan lewat “nasionalisasi” perusahaan tersebut ke tangan Republik Indonesia. Namun rupa-rupanya semangat nasionalisasi ini tidak bertahan lama karena setelah masa Orde Baru, investasi asing dibuka sebesar-besarnya lewat Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) tanggal 1 Januari 1967.
Disamping kedua faktor tersebut, ada faktor pendidikan yang memerlukan perhatian ekstra. Perlu diketahui bahwa setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia masih mempunyai 2 perguruan tinggi yaitu Universitas Gajah Mada di Yogyakarta dan Universitas Islam Indonesia. Oleh karena itu langkah berikutnya adalah nasionalisasi pendidikan dengan menjadikan Universiteit van Batavia menjadi Universitas Indonesia.  Nasionalisasi pendidikan ini dimaksudkan supaya anak didik dapat lebih mencintai negeri yang baru merdeka yang bernama Republik Indonesia. Dalam bidang pendidikan harapan besar ini diemban oleh ilmu sejarah. Namun dalam kenyataannya buku-buku pelajaran masih memakai karya FW Stapel yang lebih menonjolkan peranan orang-orang Belanda.
Oleh karena tanggung jawab besar tersebut dan ketiadaan ahli sejarah Indonesia pada waktu itu, berbagai macam ilmuwan Indonesia berkumpul di Yogyakarta untuk membuat seminar Nasional Sejarah Indonesia yang pertama pada tanggal 14-18 Desember 1957. Dua universitas terkemuka yaitu Universitas Gajah Mada dan Universitas Indonesia menjadi panitia bersama untuk melaksanakan seminar yang bertempat di Siti Hinggil kraton Yogyakarta yang di sekat seadanya dan diikuti 800 peserta tersebut. Ilmuwan-ilmuwan Indonesia dari berbagai cabang ilmu pengetahuan tampil untuk menjadi pembicara seminar seperti Prof. Muhammad Yamin yang merupakan ahli hukum, Prof. Sukanto yang juga seorang ahli hukum, Sudjatmoko seorang yang mendalami filsafat. Satu-satunya pemakalah yang merupakan sejarawan Indonesia pada waktu itu hanya Drs. Sartono Kartodirdjo baru menyelesaikan studinya.
Dalam seminar tersebut ada 2 isu yang sangat mengemuka misalnya saja isu tentang “Periodisasi” atau pembabakan sejarah antara Prof. Sukanto dan Drs. Sartono Kartodirdjo. Disamping itu isu tentang cara pandang dalam penulisan sejarah (Historiografi) juga mendapatkan perhatian yang cukup serius. Dalam hal ini ada 2 pendapat yang mengemuka yaitu Prof. Muhammad Yamin dengan historiografi yang “Indonesia Centris” dan juga Sudjatmoko dengan historiografi “sejarah sebagai ilmu”. Dalam hal ini pendapat Prof. Yamin disetujui untuk digunakan dalam penulisan sejarah Indonesia yang nantinya akan di terapkan ke sekolah-sekolah.
Namun perjuangan pendidikan Indonesia untuk menanamkan karakter ke-nusantara-an dan ke-Indonesia-an itu belum selesai begitu saja. Hal ini dikarenakan kurikulum pendidikan di Indonesia masih terasa meng-anak tirikan ilmu sejarah hingga belajar sejarah Indonesia dianggap sesuatu yang menyita waktu. Oleh karena itu banyak kurikulum yang menjadikan ilmu sejarah sebagai pelengkap penderita dalam mata pelajaran yang hanya di sisihkan 1-2 jam pelajaran dalam seminggu.
Melihat menurunnya semangat ke-nusantara-an dan ke-Indonesia-an tersebut, maka para penggagas keurikulum 2013 membuat langkah yang sangat revolusioner dengan menjadikan kembali ilmu sejarah sebagai salah satu pelajaran yang wajib di tempuh para siswa. Pelajaran sejarah diharapkan dapat membuat “sense of belonging Indonesia” menjadi bangkita karena belajar dari kehidupan dan jatuh bangunnya generasi terdahulu akan membuat anak didik mengetahui, betapa mahalnya arti sebuah nama dan harga diri “nusantara” dan “Indonesia”.
Tentu saja saat ini jumlah sejarawan di Indonesia sudah puluhan ribu di banding1 di tahun 1957. Oleh karena itu, dengan semangat seminar sejarah tahun 1957, semoga Seminar Sejarah Nasional di Yogyakarta tahun 2014 ini akan menghasilkan ide-ide menyegarkan seperti seminar sebelumnya.
Sunday, May 11, 2014
Posted by Unknown
Tag :

Angsa Putih Dari Bumi Hyang (2)






Detak jantung itu semakin lama semakin kencang seperti alunan ombak yang menghantam tebing-tebing karang setiap kali dan semakin dahsyat sehingga menyebakan kekokohannya menjadi berguguran ditelan ganasnya samudra. Demikian juga sang Betara Syiwa yang sedari awal menyadari bahaya ini, namun tak kuasa menolak karena pesona sang Dewi Uma terus menghentak dalam jiwanya.
Gugurnya tebing karang dalam hati sang Betara Sywa ini kemudian membuat pemandangan yang paling menakjubkan dalam sejarah Kadewatan. Di atas kendaraannya, sang pemimpin para Dewa ini kemudian melakukan hasrat asmara yang berkobar-kobar layaknya muda-mudi di Madyapada. Sang Andini sebenarnya memberontak dengan mengibas-ngibaskan ekornya dan berlarian tak tentu arah, namun kemauan sang majikan membuatnya tak kuasa untuk melawan. Akhirnya sang Andini hanya bisa tersenyum kecut menyaksikan hal yang paling dilarang oleh Sang Hyang Wenang.
Tak lama setelah mealkukan hajat asmara tersebut, tiba-tiba langit yang berwarna jingga secara mendadak berubak menjadi kehitaman dan deru angin pun semakin kencang sampai berubah menjadi badai. Sang Andini pun terbang tak tentu arah mengikuti sang badai bagaikan kapas yang terombang ambing tertiup angin. Setelah beberapa lama terombang-ambing tiba-tiba cuaca tambah gelap dan Andinipun merasa ada kekuatan besar yang melemparnya ke tempat yang sangat jauh. Ketika bangun Andini melihat sang majikan tak jauh ditempatnya terlempar dan sepertinya jatuh pingsan. Namun, sang majikan perempuannya tidak ia dapati jatuh kearah mana. Dalam hati kecil sang Andinipun sedih melihat kejadian yang baru saja berlalu seperti mimpi buruk.
Tak lama setelah itu sang Batara Syiwa pun bangun dari pingsannya. Sejenak ia tertegun dan kemudian menengok kiri kanan mencari sang istri tercinta yang tidak tahu terlepar kemana. Melihat sekelilingnya hanya di dapati pasir yang terhampar seperti samudra tak berujung dan tak jauh dari situ berdiri tegak sang Andini, binatang yang paling Ia sayangi yang telah setia menghantar kemanapun. Setelah lama tak menemukan sosok yang ia cari, sang Betara Sywa pun kemudian mendekati sang Andini yang juga sedang berdiri terheran-heran.
“Andini, tahukan kamu kemana gerangan terleparnya istriku Dewi Uma?”, Tanya sang Betara Sywa.
Andini pun hanya bias menggelengkan kepala pertanda ia tidak mengetahui keberadaan junjungannya tersebut. Dalam keadaan kebingungan tersebut keduanya pun kemudian mencari kesana kemari sampai berhari-hari namun tak kunjung di dapatkan kabar sang Dewi. Baru setelah 41 hari ditengah jalan sang Betara Sywa berpapasan dengan sang Betara Narada yang merupakan kakak sekaligus Patih bagi kerajaan Kahyangan Suralaya. Nampaknya dari kejauhan sang Betara Narada tampak tergesa-gesa dan kebingungan dan bukan lang kepalang hembiranya ketika dua saudara ini bertemu.
“Sampurasun Kakang Patih, kenapa Kakang dari jauh kelihatan seperti orang yang kebingungan mencari sesuatu?”, demikian teriak Betara Sywa.
Yang ditanyapun tak kalah kagetnya, Patih kerajaan Kahyangan inipun menjawab dengan muka gembira bercampur heran karena tak disangka orang yang dicarinya ada di depan mata.
“Iya Adik Prabu Betara Girinata, saya memang gembira sekali sekaligus heran tentang keberadaan Adik Prabu di tempat ini,” demikian jawab sang Betara Narada.
Kemudian sang Betara Sywapun bercerita kejadian yang beberapa waktu lalu dialaminya, termasuk badai besar yang memisahkan dirinya dengan Dewi Uma. Mendengar hal tersebut, sang Betara Narada pun mengangguk-angguk tanda mengerti. Tak lama setelah sang Betara Syiwa memaparkan kejadian yang dialaminya tersebut, kemudian sang Betara Naradapun menyembah sejenak dan mohon ijin untuk menyampaikan suatu kabar penting.
“Ampun Adik Prabu, saya beberapa waktu yang lalu mendapatkan perintah dari Hyang Wenang untuk disampaikan”, demikian Betara Narada memaparkan.
“silahkan Kakang Patih”, demikian jawab sang Baetara Syiwa.
“Beberapa waktu lalu ketika Kakang bersemadi, tiba-tiba muncul Hyang Wenang dan mencertakan tentang kejadian hilangnya Adik Prabu dari Kadewatan,” ujar sang Betara Narada memulai menguraikan perintah Hyang Wenang.
“lantas?,” suara Betara Syiwa seperti tersekat di kerongkongannya.
“Ini adalah peringatan keras dari Hyang Wenang Adik Prabu dan Betari Uma pun dihukum buang ke tempat bernama “Setra Ganda Mayit” sebuah tempat pekuburan bagi para denawa dan raksasa yang tidak mau bertobat,” tambah sang Betara Narada.
“karena pantangan itu telah dilanggar, Adik Prabu tidak boleh menemui sang Dewi kecuali pada Jum’at Kliwon dalam setiap waktunya,” demikian urai Betara Narada yang dalam hati sebenarnya tidak sampai hati untuk menyampaikan kabar hukuman yang sangat berat tersebut.
Setelah kejadian tersebut di atas, sanga Betara Syiwapun kemudian balik ke istana Jonggring Salaka tanpa di damping oleh sang istri Betari Uma yang harus menjaga istana barunya yaitu “Setra Ganda Mayit”. Oleh karena kejadian tersebut, maka pantangan tersebut kemudian disebarkan tidak hanya untuk para Dewa tetapi juga manusia yang ada di Madyapada sehingga pergantian waktu menjelang matahari terbenam tersebut sangat menakutkan bagi kalangan manusia maupun para Dewa. 
Bersambung 
Penulis Mansur Hidayat.

Posted by Unknown

Kurikulum 2013 Wujudkan Hasil Seminar Sedjarah 1957



Keterangan foto dari kiri ke kanan : 
Dirjen Kebudayaan Kaucng Maridjan, Prof Djoko Suryo, 
Prof Taufik Abdullah, Ketua umum MSI Mukhlis Paeni, 
Dirjen Sejarah dan Nilai budaya Endjat Djaenuderadjat

Seminar Sedjarah yang diselanggarakan di Yogjakarta 14-18 Desember 1957 merupakan tonggak penulisan sejarah yang menggunakan pandangan Indonesiacentris. Seminar yang dimotori oleh Soedjatmoko, Moh Yamin, Soekanto dan A. Sartono Kartodirjo menggagas untuk menulis sejarah dalam sudut pandang bangsa Indonesia. Selain itu dalam seminar itu dibicarakan tentang landasan filsafat sejarah nasional, periodisasi sejarah dan penulisan buku sejarah.  Hal inilah yang berusaha ditangkap dalam Apresiasi Historiografi Indonesia, berusaha kembali mewujudkan kembali penulisan sejarah dalam sudut pandang Indonesiacentris.
Dirjen Kebudayaan Kacung Marijan saat pembukaan acara Apresiasi Historigrafi Indonesia yang berlangsung di Yogjakarta 5-8 Mei 2014 yang lalu mengatakan bahwa semangat seminar 1957 yang saat ini ingin dimunculkan kembali melalui kurikulum 2013.

"Pendidikan sejarah dimasa kini dirasa masih sangat kurang. Hal itu berimplikasi pada lemahnya karakter bangsa. Kita akan perbaiki kurikulumnya dan menammbah porsi jam pelajaran sejarah disekolah," ungkapnya.
Mata pelajaran sejarah pada kurikulum sebelumnya selalu mendapatkan porsi jam pelajaran yang sangat sedikit. Bahkan pada kurikulum 2006 mata pelajaran sejarah hanya mendapatkan dua jam untuk jurusan IPS dan satu jam untuk jurusan IPA. Selain kurikulum 2006 penurunan materi pendidikan sejarah juga terjadi pada kurikulum 1994 dan kurikulum 1984. Sementara itu dalam kurikulum 2013 mata pelajaran sejarah mendapatkan porsi yang lebih. Bahkan pelajaran sejarah dikembangkan dalam dua mata pelajaran yaitu sejarah Indonesia untuk seluruh peserta didik SMA dan SMK, dan mata pelajaran sejarah sebagai mata pelajaran wajib bagi peserta didik SMA yang memilih peminatan ilmu-ilmu sosial. Tujuan utama mata pelajaran ini adalah mengembangkan dan memperkuat semangat kebangsaan, cinta tanah air, memori kolektif sebagai bangsa dan mampu belajar dari sejarah.
Menurut Kacung Maridjan, upaya lain yang akan dilakukan untuk memunculkan semangat seminar sedjarah 1957 dengan memasukkan pengetahuan sejarah dalam kepramukaan dan menggiatkan kelompok guru-guru sejarah untuk melakukan kajian sejarah. "Kegiatan konferensi semacam ini akan terus kita adakan," pungkas Kacung Maridjan.(lut/red)
Posted by Unknown
Tag :

Gerwani Bukan PKI (sebuah Gerakan Feminisme Terbesar di Indonesia)



Judul: Gerwani Bukan PKI (sebuah Gerakan Feminisme Terbesar di Indonesia)
Penulis:  Hikmah Diniah
Penerbit: CarasvatiBooks, 2007
Tebal Buku: 211
Oleh: Rina Rahmawati, SS.,M.Hum. Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah IKIP PGRI Jember
Sejarah gerakan perempuan di Indonesia sudah ada sejak  sebelum kemerdekaan. Organisasi-organisasi perempuan dibangun untuk kepentingan perempuan, memperjuangkan posisi dalam perkawinan bukan untuk menyamai derajat antara suami dengan istri tetapi untuk menengahi bahwasanya perempuan itu hebat dalam perannya sebagai istri, ibu dan juga karir.  Organisasi perempuan juga dibangun untuk mempertinggi kecakapan dan pemahaman ibu sebagai pemegang dan yang menentukan jalanya rumah tangga salam sebuah keluarga.   
Organisasi perempun hidup subur mulai  abad 19 pada masa R.A. Kartini yang berjuang melawan arus feodalisme dan kolonialis. Ide-ide Kartini ini kemudian dilanjutkan oleh Dewi Sartika yang berjuang untuk pendidikan sehingga memiliki derajat dan kepandaian untuk mendidik anak2 nya. Perempuan dituntut pandai dalam keluarga, pandai mendidik anak, mengatur ekonomi keluagra sehingga keluarga mampu berjalan seimbang.
Abad ke 20 muncul organisasi perempuan modern seperti Puteri mardika pada tahun 1912 di Jakarta yang di ikuti oleh golongan bangsawan. Sesudah tahun 1920 muncul organisasi perempuan di Yogyakarta yang bernama Aisyiyah yang berjuang dlam gerakan pembaharuan islam muhamadiayah.
Tranformasi atas kesadaran politik organisasi perempuan ditandai dengan Kongres Perempuan I tanggal 22-23 desember 1928 di Yogyakarta yang di wakili oleh organisasi perempuan seperti; Wanito Utomo, Puteri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyiyah, Serikat istri buruh Indonesia, jong java, Wanita Taman siswa. Kongres ini membahas mengenai persamaan derajat yang akan dicapai dalam suasana masyarakat yang tidak terjajah. Persamaan antara peran laki2 dan perempuan dalam rumah tangga dan juga dalam pembagian tugas kerja. Di dalam kongres ini pun menandai sejumlah pergeseran berkaitan dengan cara-cara perempuan indonesia dalam merumuskan gender.
Tahun 1932 organisasi prempuan semakin maju, Istri Sedar dalam perjuangan tidak hanya berjuang dan begerak untuk kepentingan kaum prempuan semata, tetapi ikut terlibat langsung di garis depan untuk memperjuangkan kemerdekaan nasional. Organisasi ini menjadi cikal bakal organisasi gerakan wanita sedar (GERWIS) dan selanjutnya menjadi organisasi perempuan ternama yaitu Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) pada tahun 1954.
Gerwani menjadi orgnaisasi perempuan yang menarik kaum perempuan dari kalangan massa raykat. Sebab perjuangan Gerwani lebih  mengutamakan memperjuangkan rakyat kalangan menengah kebawah (grosrood). Gerwani mengakui bahwa politik adalah bidang yang sah untuk perempuan, sejak tahun 1955 gerwani mengambil keputusan untuk tidak hanya bergerak untuk penuntutan persamaan hak tetapi juga terlibat aktif dalam politik bangsa. Sehingga pada politik pertama tahun 1955 Gerwani melakukan kampanye pemilihan umum. Mendukung pemerintah untuk pembebasan irian barat dari jajahan kolonial dan mengirimkan anggotanya menjadi sukarelawan dalam konfrontasi malaysia (ganyang malaysia).
Gerakan perempuan revolusioner
Gerwani merupakan organisasi perempuan yang berani ikut serta salam perjuangan untuk kemerdekaan. Keberanian inilah yang akhirnya menjadikan organisasi ini disebut sebagai organisasi yang revolusioner. Gerakan bawah tanah yang dilakukan selama pendudukan Belanda dan ikut serta berjuang mewujudkan cita2 kemerdekaan sejati bagi tanah air dan bangsa.
Sesungguhnya Gerwani secara organisasi bertujuan untuk mewujudkan cita-cita kaum perempuan untuk bersikap lebih aktif, kreatif dan pandai khusus nya untuk keluarga atau rumah tangga mereka. Sehingga kaum perempuan tidak direndahkan oleh laki-laki, stereotip bahwa perempuan hanya dalam lingkaran dapur dan kasur saja, tetapi mampu bekerja diluar sektor itu. Terbukti dengan  semboyan yang dimilikinya “organisasi pendidikan dan perjuangan”. Gerwani menghendaki agar kaum perempuan mampu berdiri sendiri dan mampu bekerja keras dan berpendidikan tidak hanya menjadi pengikut suami atau embel-embel suami.
Gerwani bukan PKI merupakan penegas bahwasanya organisasi perempuan ini berjuang aktif untuk kepentingan masyarkat, khususnya masyarkat miskin atau kelas pinggiran. Tetapi karena gerakanya yang berani dan forntal juga progresif menjadikan Gerwani di minati oleh berbagai partai politik seperti PKI. Kesamaan perjuangan yang memebela kaum pinggiran menjadikan Gerwani dalam kisahnya sebagai underbow PKI.
Perjuangan Gerwani yang menitik beratkan pada hak2 perempuan untuk juga diperhatikan misalnya dalam mengingnkan pendidikan, upah yang layak, dan lainya mengingat perempuan adalah seorang yang memiliki tanggung jawab besar dalam lingkungan kecil rumah tangganya. Sebagai seorang istri, ibu dan pekerja. Perjungan Gerwani yang mengharpatkan persamaan hak inilah menjadi terpental karena keberanianya dalam menyuarakan hak2 nya, meskipun dengan jalan menjadi anggota dewan dalam pemerintahan. Kemudian dengan massa yang cukup banyak menyuarakan penurunan harga bahan pokok yang dinilai mencekik orang2 miskin, ikut aktif memberla negara sebagia sukarelawan pembebasan irian barat dan lainya. Sehingga keberanian inilah yang memaksa Gerwani menjadi organisasi revolusioner dalam gerakanya.
Buku ini adalah suatu buku yang sangat baik untuk dibaca bagi kalangan akademisi, aktifis gender maupun para politisi perempuan di Indonesia.  Dengan membaca buku ini, kita dijaka untuk sejenak bercengkrama dengan masa lalu, dimana perjuangan perempuan tidak semudah membalik telapak tangan, tetapi selalu diwarnai dengan dinamika yang terkadang menyebabkan timbul tenggelamnya perjuangan memperjuangan harkat kaum perempuan itu sendiri.


Posted by Unknown
Tag :

Popular Post

- Supported © By TOA and Suryadin Laoddang Powered by Pembicara Internet Marketing and Jual Mukena -