Tafsir Baru Kesejarahaan Ken Arok
Judul Buku : Tafsir Baru Kesejarahaan Ken Arok
Penulis : Suwardono
Penerbit : Ombak
Tahun Terbit : Juni-2013
Ken Arok atau yang dikenal juga dengan nama Ken Angrok namanya begitu melegenda dalam pentas sejarah nasional. Pria dari abad 13 ini menjelma menjadi penguasa dan pendiri Dinasti Rajasa dari yang semula hanyalah berasal dari golongan petani.
Asal usul Ken Arok sendiri sebagai pendiri suatu Dinasti Rajasa masih menjadi polemik. Dalam beberapa sumber historiografi tradisional (Kitab Pararaton dan Negarakertagma) disebutkan bahwa Ken Angrok merupakan anak dari Dewa Brahma hasil hubungannya dengan Ken Ndok. Lantas benarkah bahwa Ken Angrok merupakan anak biologis dari Dewa Brahma.
Buku yang berjudul Tafsir Baru Kesejarahan Ken Arok berusaha menghadirkan tafsir baru mengenai siapa sebenarnya sosok Ken Arok. Suwardono sang penulis buku berupaya memunculkan bukti-bukti baru bahwa Ken Arok bukanlah sekedar dongen dan miitos belaka tetapi benar keberadaanya. Suwardono juga menginterprestasikan bahwa sebenarnya Ken Arok bukanlah anak dari Dewa Brahma melainkan anak dari Pejabat, Penguasa pada waktu itu. Pencatutan nama Dewa Brahma menurut Suwardono lebih untuk menutupi siapa sebenarnya yang menjadi ayah bilogis dari Ken Arok.
Dari sinilah Suwardono menafsrikan bahwa Ken Arok yang melakukan perombakan besar dan juga mengubah tradisi sosial sebenarnya bukanlah anak dari golongan petani melainkan anak dari poejabat dan penguasa waktu itu. Dengan pertimbangan bahwa kondisi sosial waktu itu tidaklah memungkinkan seseorang dari kasta yang rendah bisa melakukan perombakan yang luar biasa besar. Bahkan Ken Arok berhasil menjadi raja besar di tanah Jawa serta menjelma menjadi pendiri dinasti baru.
Dalam buku terbaru ini Suwardono juga berupaya mengidentifikasi kembali nama-nama daerah yang disebutkan dalam data-data tekstual Negarakertagam dan Pararaton. Mulai dari tempat kelahiran Ken Arok yang disebut-sebut berada di timur lereng Gunung Kawi sampai tempat pendarmaan dari Ken Arok.
Suwardono pun menyebutan nama-nama tempat di timur lereng Gunung Kawi sampai ke wilayah kota Malang saat ini yang mempunya peran penting masa-masa Ken Arok menyusun kekuatan untuk merombak tradisi dan menjadi raja besar.
Penulis : Suwardono
Penerbit : Ombak
Tahun Terbit : Juni-2013
Ken Arok atau yang dikenal juga dengan nama Ken Angrok namanya begitu melegenda dalam pentas sejarah nasional. Pria dari abad 13 ini menjelma menjadi penguasa dan pendiri Dinasti Rajasa dari yang semula hanyalah berasal dari golongan petani.
Asal usul Ken Arok sendiri sebagai pendiri suatu Dinasti Rajasa masih menjadi polemik. Dalam beberapa sumber historiografi tradisional (Kitab Pararaton dan Negarakertagma) disebutkan bahwa Ken Angrok merupakan anak dari Dewa Brahma hasil hubungannya dengan Ken Ndok. Lantas benarkah bahwa Ken Angrok merupakan anak biologis dari Dewa Brahma.
Buku yang berjudul Tafsir Baru Kesejarahan Ken Arok berusaha menghadirkan tafsir baru mengenai siapa sebenarnya sosok Ken Arok. Suwardono sang penulis buku berupaya memunculkan bukti-bukti baru bahwa Ken Arok bukanlah sekedar dongen dan miitos belaka tetapi benar keberadaanya. Suwardono juga menginterprestasikan bahwa sebenarnya Ken Arok bukanlah anak dari Dewa Brahma melainkan anak dari Pejabat, Penguasa pada waktu itu. Pencatutan nama Dewa Brahma menurut Suwardono lebih untuk menutupi siapa sebenarnya yang menjadi ayah bilogis dari Ken Arok.
Dari sinilah Suwardono menafsrikan bahwa Ken Arok yang melakukan perombakan besar dan juga mengubah tradisi sosial sebenarnya bukanlah anak dari golongan petani melainkan anak dari poejabat dan penguasa waktu itu. Dengan pertimbangan bahwa kondisi sosial waktu itu tidaklah memungkinkan seseorang dari kasta yang rendah bisa melakukan perombakan yang luar biasa besar. Bahkan Ken Arok berhasil menjadi raja besar di tanah Jawa serta menjelma menjadi pendiri dinasti baru.
Dalam buku terbaru ini Suwardono juga berupaya mengidentifikasi kembali nama-nama daerah yang disebutkan dalam data-data tekstual Negarakertagam dan Pararaton. Mulai dari tempat kelahiran Ken Arok yang disebut-sebut berada di timur lereng Gunung Kawi sampai tempat pendarmaan dari Ken Arok.
Suwardono pun menyebutan nama-nama tempat di timur lereng Gunung Kawi sampai ke wilayah kota Malang saat ini yang mempunya peran penting masa-masa Ken Arok menyusun kekuatan untuk merombak tradisi dan menjadi raja besar.
Candi Kidal Di Tengah Padatnya Pemukiman Dan Peternakan Ayam
Bangunan candi dari batuan andesit tampak berdiri megah nan kokoh dari jalan desa RejoKidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang sebuah jalan sempit menghubungkan candi dan jalan desa rejo Kidal. Candi yang konon merupakan tempat pendarmaan dari Raja Singasari yang bernama Anusopati memang terletak di tengah-tengah pemukiman yang pada penduduk. Selain pemukiman yang padat penduduknya, suasana di sekitar Candi Kidal ini agak terganggu dengan bau tidak sedap dari peternakan ayam yang terletak tak jauh dari lokasi candi. Kondisi semacam ini tentu saja sangat menganggu wisatawan yang akan mengunjungi Candi Kidal.
Untuk menuju Candi Kidal dari arah kota Malang bisa ditempuh sejauh 28 kilometer menuju arah selatan, dan bisa dicapai dengan kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat. Dan lokasi Candi Kidal ini susah ditempuh dengan angkutan umum.
Dalam Kitab Pararaton menyebutnya sebagai tempat meninggalnya Raja Anusapati. Sementara pada Kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca (1365) menyinggungnya sebagai pendarmaan yang pernah dijejaki Hayam Wuruk. Dalam kosakata Jawa, “Kidal” memiliki arti “kiri” atau “selatan”dari asal kata “kidul.” Ada anggapan bahwa lokasi di mana candi berada dinamakan “Kidal” karena sang raja tak lain adalah anak tiri dari Raja Singosari, Sri Ranggah Rajasa (Ken Angrok). Sedangkan arah selatan mengacu pada keberadaan candi di arah selatan agak ke kiri dari pusat Singosari. Sebagai candi pendarmaan raja, Kidal pun banyak menyimpan kisah Anusapati.
Anusapati merupakan anak dari Ken Dedes dan suaminya terdahulu Akuwu Tumapel Tunggul Ametung. Anusapati merupakan raja yang memerintah Singosari tahun 1227-1248 (atau tahun saka 1119-1170) setelah membunuh Ken Arok yang telah dia ketahui bahwa Ken Arok merupakan ayah tirinya.
Untuk menuju Candi Kidal dari arah kota Malang bisa ditempuh sejauh 28 kilometer menuju arah selatan, dan bisa dicapai dengan kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat. Dan lokasi Candi Kidal ini susah ditempuh dengan angkutan umum.
Dalam Kitab Pararaton menyebutnya sebagai tempat meninggalnya Raja Anusapati. Sementara pada Kitab Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca (1365) menyinggungnya sebagai pendarmaan yang pernah dijejaki Hayam Wuruk. Dalam kosakata Jawa, “Kidal” memiliki arti “kiri” atau “selatan”dari asal kata “kidul.” Ada anggapan bahwa lokasi di mana candi berada dinamakan “Kidal” karena sang raja tak lain adalah anak tiri dari Raja Singosari, Sri Ranggah Rajasa (Ken Angrok). Sedangkan arah selatan mengacu pada keberadaan candi di arah selatan agak ke kiri dari pusat Singosari. Sebagai candi pendarmaan raja, Kidal pun banyak menyimpan kisah Anusapati.
Anusapati merupakan anak dari Ken Dedes dan suaminya terdahulu Akuwu Tumapel Tunggul Ametung. Anusapati merupakan raja yang memerintah Singosari tahun 1227-1248 (atau tahun saka 1119-1170) setelah membunuh Ken Arok yang telah dia ketahui bahwa Ken Arok merupakan ayah tirinya.
Perebutan kekuasaan pun tidak dapat dihindari lagi trah Tunggul Ametung-Dedes dengan Trah Arok-Ken Umang, Anusopati yang telah membunuh Ken Arok di balas oleh Tohjaya anak dari Ken Arok dengan Ken Umang. Anusopati akhirnya gugur dan 12 tahun kemudian di dharmakan di Candi Kidal.
Sebagai candi pribadi, Candi Kidal memiliki corak Hindu. Tahun 1901, Belanda bernama Brumund dan JLA. Brandes sempat mengunjungi lokasi. Candi kemudian dikonstruksi oleh B. De Haan di tahun 1925. Sedangkan perbaikan yang kedua, dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tahun 1986 sampai 1990. Sekarang, candi yang terbuat dari batu andesit dengan relief ini memiliki panjang 10,8 meter, lebar 8,36 meter, dan tinggi 12,26 meter (diduga tinggi sebenarnya mencapai 17 meter). Bagian kaki candi memiliki penggambaran kehidupan dan alam manusia (Bhurloka), bagian badan mewakili langit (Bwahloka), dan puncaknya adalah Swahloka atau kahyangan. Begitulah masyarakat era Singosari menjelaskan mengenai kosmologi dari semesta dengan bahasa dan penjelasan yang sederhana, tetapi bermakna dalam.
Sebagai candi pribadi, Candi Kidal memiliki corak Hindu. Tahun 1901, Belanda bernama Brumund dan JLA. Brandes sempat mengunjungi lokasi. Candi kemudian dikonstruksi oleh B. De Haan di tahun 1925. Sedangkan perbaikan yang kedua, dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tahun 1986 sampai 1990. Sekarang, candi yang terbuat dari batu andesit dengan relief ini memiliki panjang 10,8 meter, lebar 8,36 meter, dan tinggi 12,26 meter (diduga tinggi sebenarnya mencapai 17 meter). Bagian kaki candi memiliki penggambaran kehidupan dan alam manusia (Bhurloka), bagian badan mewakili langit (Bwahloka), dan puncaknya adalah Swahloka atau kahyangan. Begitulah masyarakat era Singosari menjelaskan mengenai kosmologi dari semesta dengan bahasa dan penjelasan yang sederhana, tetapi bermakna dalam.
Semangat Ke-Indonesian Menghasilkan Ide-ide yang Menyegarkan
Proklamasi 7 Agustus
1945 adalah sebuah tonggak penting dalam sejarah politik Hindia Belanda yang
kemudian berubah nama menjadi Indonesia, sebuah nama yang menyatakan sebuah
sinkretisme antara semangat ke-nusantaraan yang pribumi dan ungkapan barat
tentang suatu wilayah yang berada di kepulauan sebelah selatan Asia. Pada masa
lalu, nama wilayah di kepulauan ini disebut “Nusantara”
yang artinya pualau diantara 2 benua dan kemudian James R. Logan, seorang
etnograf dari Scotlandia pada tahun 1847 menyebut nama Indonesia.
Dalam kegamangan antara
prinsip ke-nusantara-an dan pengaruh barat yang banyak memperngaruhi sendi
kehidupan tersebut, maka semangat proklamasi haruslah ditegakkan
setinggi-tinginya bagi para penghuni “Nusantara” yang kemudian menyebut
dirinya “Indonesia” tersebut. Kegamangan tentang prinsip
ke-nusantara-an tersebut dapat dilihat dari sudut pandang politik seperti masih
adanya campur tangan Belanda melalu Republik Indonesia Serikat (RIS) yang
kemudian baru dapat di enyahkan setelah 17 Agustus 1950 dengan pembubaran RIS.
Dalam bidang ekonomi juga kita temui kegamangan ke-nusantara-an lewat
bercokolnya kekuatan-keuatan ekonomi asing yang tetap diwujudkan dalam
perusahaan-perusahaan Belanda yang tak tersentuh misalnya dalam bidang
perkebunan, pelayaran dan pertambangan yang kemudian di enyahkan lewat
“nasionalisasi” perusahaan tersebut ke tangan Republik Indonesia. Namun
rupa-rupanya semangat nasionalisasi ini tidak bertahan lama karena setelah masa
Orde Baru, investasi asing dibuka sebesar-besarnya lewat Undang-undang
Penanaman Modal Asing (PMA) tanggal 1 Januari 1967.
Disamping kedua faktor
tersebut, ada faktor pendidikan yang memerlukan perhatian ekstra. Perlu
diketahui bahwa setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia masih mempunyai
2 perguruan tinggi yaitu Universitas Gajah Mada di Yogyakarta dan Universitas
Islam Indonesia. Oleh karena itu langkah berikutnya adalah nasionalisasi
pendidikan dengan menjadikan Universiteit van Batavia menjadi Universitas
Indonesia. Nasionalisasi pendidikan ini
dimaksudkan supaya anak didik dapat lebih mencintai negeri yang baru merdeka
yang bernama Republik Indonesia. Dalam bidang pendidikan harapan besar ini
diemban oleh ilmu sejarah. Namun dalam kenyataannya buku-buku pelajaran masih
memakai karya FW Stapel yang lebih menonjolkan peranan orang-orang Belanda.
Oleh karena tanggung
jawab besar tersebut dan ketiadaan ahli sejarah Indonesia pada waktu itu,
berbagai macam ilmuwan Indonesia berkumpul di Yogyakarta untuk membuat seminar
Nasional Sejarah Indonesia yang pertama pada tanggal 14-18 Desember 1957. Dua
universitas terkemuka yaitu Universitas Gajah Mada dan Universitas Indonesia
menjadi panitia bersama untuk melaksanakan seminar yang bertempat di Siti Hinggil
kraton Yogyakarta yang di sekat seadanya dan diikuti 800 peserta tersebut. Ilmuwan-ilmuwan
Indonesia dari berbagai cabang ilmu pengetahuan tampil untuk menjadi pembicara
seminar seperti Prof. Muhammad Yamin yang merupakan ahli hukum, Prof. Sukanto yang
juga seorang ahli hukum, Sudjatmoko seorang yang mendalami filsafat.
Satu-satunya pemakalah yang merupakan sejarawan Indonesia pada waktu itu hanya
Drs. Sartono Kartodirdjo baru menyelesaikan studinya.
Dalam seminar tersebut
ada 2 isu yang sangat mengemuka misalnya saja isu tentang “Periodisasi” atau
pembabakan sejarah antara Prof. Sukanto dan Drs. Sartono Kartodirdjo. Disamping
itu isu tentang cara pandang dalam penulisan sejarah (Historiografi) juga
mendapatkan perhatian yang cukup serius. Dalam hal ini ada 2 pendapat yang
mengemuka yaitu Prof. Muhammad Yamin dengan historiografi yang “Indonesia
Centris” dan juga Sudjatmoko dengan historiografi “sejarah sebagai ilmu”.
Dalam hal ini pendapat Prof. Yamin disetujui untuk digunakan dalam penulisan
sejarah Indonesia yang nantinya akan di terapkan ke sekolah-sekolah.
Namun perjuangan
pendidikan Indonesia untuk menanamkan karakter ke-nusantara-an dan ke-Indonesia-an
itu belum selesai begitu saja. Hal ini dikarenakan kurikulum pendidikan di
Indonesia masih terasa meng-anak tirikan ilmu sejarah hingga belajar sejarah
Indonesia dianggap sesuatu yang menyita waktu. Oleh karena itu banyak kurikulum
yang menjadikan ilmu sejarah sebagai pelengkap penderita dalam mata pelajaran
yang hanya di sisihkan 1-2 jam pelajaran dalam seminggu.
Melihat menurunnya semangat
ke-nusantara-an dan ke-Indonesia-an tersebut, maka para penggagas keurikulum
2013 membuat langkah yang sangat revolusioner dengan menjadikan kembali ilmu
sejarah sebagai salah satu pelajaran yang wajib di tempuh para siswa. Pelajaran
sejarah diharapkan dapat membuat “sense of belonging Indonesia” menjadi
bangkita karena belajar dari kehidupan dan jatuh bangunnya generasi terdahulu
akan membuat anak didik mengetahui, betapa mahalnya arti sebuah nama dan harga
diri “nusantara”
dan “Indonesia”.
Tentu saja saat ini
jumlah sejarawan di Indonesia sudah puluhan ribu di banding1 di tahun 1957.
Oleh karena itu, dengan semangat seminar sejarah tahun 1957, semoga Seminar
Sejarah Nasional di Yogyakarta tahun 2014 ini akan menghasilkan ide-ide
menyegarkan seperti seminar sebelumnya.
Angsa Putih Dari Bumi Hyang (2)
Detak
jantung itu semakin lama semakin kencang seperti alunan ombak yang menghantam
tebing-tebing karang setiap kali dan semakin dahsyat sehingga menyebakan
kekokohannya menjadi berguguran ditelan ganasnya samudra. Demikian juga sang
Betara Syiwa yang sedari awal menyadari bahaya ini, namun tak kuasa menolak
karena pesona sang Dewi Uma terus menghentak dalam jiwanya.
Gugurnya
tebing karang dalam hati sang Betara Sywa ini kemudian membuat pemandangan yang
paling menakjubkan dalam sejarah Kadewatan. Di atas kendaraannya, sang pemimpin
para Dewa ini kemudian melakukan hasrat asmara yang berkobar-kobar layaknya
muda-mudi di Madyapada. Sang Andini sebenarnya memberontak dengan
mengibas-ngibaskan ekornya dan berlarian tak tentu arah, namun kemauan sang
majikan membuatnya tak kuasa untuk melawan. Akhirnya sang Andini hanya bisa
tersenyum kecut menyaksikan hal yang paling dilarang oleh Sang Hyang Wenang.
Tak
lama setelah mealkukan hajat asmara tersebut, tiba-tiba langit yang berwarna
jingga secara mendadak berubak menjadi kehitaman dan deru angin pun semakin
kencang sampai berubah menjadi badai. Sang Andini pun terbang tak tentu arah
mengikuti sang badai bagaikan kapas yang terombang ambing tertiup angin.
Setelah beberapa lama terombang-ambing tiba-tiba cuaca tambah gelap dan
Andinipun merasa ada kekuatan besar yang melemparnya ke tempat yang sangat
jauh. Ketika bangun Andini melihat sang majikan tak jauh ditempatnya terlempar
dan sepertinya jatuh pingsan. Namun, sang majikan perempuannya tidak ia dapati
jatuh kearah mana. Dalam hati kecil sang Andinipun sedih melihat kejadian yang
baru saja berlalu seperti mimpi buruk.
Tak
lama setelah itu sang Batara Syiwa pun bangun dari pingsannya. Sejenak ia
tertegun dan kemudian menengok kiri kanan mencari sang istri tercinta yang
tidak tahu terlepar kemana. Melihat sekelilingnya hanya di dapati pasir yang
terhampar seperti samudra tak berujung dan tak jauh dari situ berdiri tegak
sang Andini, binatang yang paling Ia sayangi yang telah setia menghantar
kemanapun. Setelah lama tak menemukan sosok yang ia cari, sang Betara Sywa pun
kemudian mendekati sang Andini yang juga sedang berdiri terheran-heran.
“Andini,
tahukan kamu kemana gerangan terleparnya istriku Dewi Uma?”, Tanya sang Betara
Sywa.
Andini
pun hanya bias menggelengkan kepala pertanda ia tidak mengetahui keberadaan
junjungannya tersebut. Dalam keadaan kebingungan tersebut keduanya pun kemudian
mencari kesana kemari sampai berhari-hari namun tak kunjung di dapatkan kabar
sang Dewi. Baru setelah 41 hari ditengah jalan sang Betara Sywa berpapasan
dengan sang Betara Narada yang merupakan kakak sekaligus Patih bagi kerajaan
Kahyangan Suralaya. Nampaknya dari kejauhan sang Betara Narada tampak
tergesa-gesa dan kebingungan dan bukan lang kepalang hembiranya ketika dua
saudara ini bertemu.
“Sampurasun
Kakang Patih, kenapa Kakang dari jauh kelihatan seperti orang yang kebingungan
mencari sesuatu?”, demikian teriak Betara Sywa.
Yang
ditanyapun tak kalah kagetnya, Patih kerajaan Kahyangan inipun menjawab dengan
muka gembira bercampur heran karena tak disangka orang yang dicarinya ada di
depan mata.
“Iya
Adik Prabu Betara Girinata, saya memang gembira sekali sekaligus heran tentang
keberadaan Adik Prabu di tempat ini,” demikian jawab sang Betara Narada.
Kemudian
sang Betara Sywapun bercerita kejadian yang beberapa waktu lalu dialaminya,
termasuk badai besar yang memisahkan dirinya dengan Dewi Uma. Mendengar hal
tersebut, sang Betara Narada pun mengangguk-angguk tanda mengerti. Tak lama
setelah sang Betara Syiwa memaparkan kejadian yang dialaminya tersebut,
kemudian sang Betara Naradapun menyembah sejenak dan mohon ijin untuk
menyampaikan suatu kabar penting.
“Ampun
Adik Prabu, saya beberapa waktu yang lalu mendapatkan perintah dari Hyang
Wenang untuk disampaikan”, demikian Betara Narada memaparkan.
“silahkan
Kakang Patih”, demikian jawab sang Baetara Syiwa.
“Beberapa
waktu lalu ketika Kakang bersemadi, tiba-tiba muncul Hyang Wenang dan
mencertakan tentang kejadian hilangnya Adik Prabu dari Kadewatan,” ujar sang
Betara Narada memulai menguraikan perintah Hyang Wenang.
“lantas?,”
suara Betara Syiwa seperti tersekat di kerongkongannya.
“Ini
adalah peringatan keras dari Hyang Wenang Adik Prabu dan Betari Uma pun dihukum
buang ke tempat bernama “Setra Ganda
Mayit” sebuah tempat pekuburan bagi para denawa dan raksasa yang tidak mau
bertobat,” tambah sang Betara Narada.
“karena
pantangan itu telah dilanggar, Adik Prabu tidak boleh menemui sang Dewi kecuali
pada Jum’at Kliwon dalam setiap waktunya,” demikian urai Betara Narada yang
dalam hati sebenarnya tidak sampai hati untuk menyampaikan kabar hukuman yang
sangat berat tersebut.
Setelah
kejadian tersebut di atas, sanga Betara Syiwapun kemudian balik ke istana
Jonggring Salaka tanpa di damping oleh sang istri Betari Uma yang harus menjaga
istana barunya yaitu “Setra Ganda Mayit”.
Oleh karena kejadian tersebut, maka pantangan tersebut kemudian disebarkan
tidak hanya untuk para Dewa tetapi juga manusia yang ada di Madyapada sehingga
pergantian waktu menjelang matahari terbenam tersebut sangat menakutkan bagi
kalangan manusia maupun para Dewa.
Bersambung
Penulis Mansur Hidayat.
Kurikulum 2013 Wujudkan Hasil Seminar Sedjarah 1957
Keterangan foto dari kiri ke kanan :
Dirjen Kebudayaan Kaucng Maridjan, Prof Djoko Suryo,
Prof Taufik Abdullah, Ketua umum MSI Mukhlis Paeni,
Dirjen Sejarah dan Nilai budaya Endjat Djaenuderadjat
Seminar Sedjarah yang
diselanggarakan di Yogjakarta 14-18 Desember 1957 merupakan tonggak penulisan
sejarah yang menggunakan pandangan Indonesiacentris. Seminar yang dimotori oleh
Soedjatmoko, Moh Yamin, Soekanto dan A. Sartono Kartodirjo menggagas untuk
menulis sejarah dalam sudut pandang bangsa Indonesia. Selain itu dalam seminar
itu dibicarakan tentang landasan filsafat sejarah nasional, periodisasi sejarah
dan penulisan buku sejarah. Hal inilah yang berusaha ditangkap dalam
Apresiasi Historiografi Indonesia, berusaha kembali mewujudkan kembali
penulisan sejarah dalam sudut pandang Indonesiacentris.
Dirjen Kebudayaan
Kacung Marijan saat pembukaan acara Apresiasi Historigrafi Indonesia yang
berlangsung di Yogjakarta 5-8 Mei 2014 yang lalu mengatakan bahwa semangat
seminar 1957 yang saat ini ingin dimunculkan kembali melalui kurikulum 2013.
"Pendidikan
sejarah dimasa kini dirasa masih sangat kurang. Hal itu berimplikasi pada
lemahnya karakter bangsa. Kita akan perbaiki kurikulumnya dan menammbah porsi
jam pelajaran sejarah disekolah," ungkapnya.
Mata pelajaran sejarah
pada kurikulum sebelumnya selalu mendapatkan porsi jam pelajaran yang sangat
sedikit. Bahkan pada kurikulum 2006 mata pelajaran sejarah hanya mendapatkan
dua jam untuk jurusan IPS dan satu jam untuk jurusan IPA. Selain kurikulum 2006
penurunan materi pendidikan sejarah juga terjadi pada kurikulum 1994 dan
kurikulum 1984. Sementara itu dalam kurikulum 2013 mata pelajaran sejarah
mendapatkan porsi yang lebih. Bahkan pelajaran sejarah dikembangkan dalam dua
mata pelajaran yaitu sejarah Indonesia untuk seluruh peserta didik SMA dan SMK,
dan mata pelajaran sejarah sebagai mata pelajaran wajib bagi peserta didik SMA
yang memilih peminatan ilmu-ilmu sosial. Tujuan utama mata pelajaran ini adalah
mengembangkan dan memperkuat semangat kebangsaan, cinta tanah air, memori
kolektif sebagai bangsa dan mampu belajar dari sejarah.
Menurut Kacung Maridjan,
upaya lain yang akan dilakukan untuk memunculkan semangat seminar sedjarah 1957
dengan memasukkan pengetahuan sejarah dalam kepramukaan dan menggiatkan
kelompok guru-guru sejarah untuk melakukan kajian sejarah. "Kegiatan
konferensi semacam ini akan terus kita adakan," pungkas Kacung Maridjan.(lut/red)
Gerwani Bukan PKI (sebuah Gerakan Feminisme Terbesar di Indonesia)
Judul:
Gerwani Bukan PKI (sebuah Gerakan Feminisme Terbesar di Indonesia)
Penulis: Hikmah Diniah
Penerbit:
CarasvatiBooks, 2007
Tebal
Buku: 211
Oleh: Rina Rahmawati, SS.,M.Hum. Dosen Program
Studi Pendidikan Sejarah IKIP PGRI Jember
Sejarah gerakan
perempuan di Indonesia sudah ada sejak
sebelum kemerdekaan. Organisasi-organisasi perempuan dibangun untuk
kepentingan perempuan, memperjuangkan posisi dalam perkawinan bukan untuk
menyamai derajat antara suami dengan istri tetapi untuk menengahi bahwasanya
perempuan itu hebat dalam perannya sebagai istri, ibu dan juga karir. Organisasi perempuan juga dibangun untuk
mempertinggi kecakapan dan pemahaman ibu sebagai pemegang dan yang menentukan
jalanya rumah tangga salam sebuah keluarga.
Organisasi perempun
hidup subur mulai abad 19 pada masa R.A.
Kartini yang berjuang melawan arus feodalisme dan kolonialis. Ide-ide Kartini ini kemudian dilanjutkan oleh Dewi Sartika yang berjuang untuk pendidikan sehingga memiliki derajat
dan kepandaian untuk mendidik anak2 nya. Perempuan dituntut pandai dalam
keluarga, pandai mendidik anak, mengatur ekonomi keluagra sehingga keluarga
mampu berjalan seimbang.
Abad ke 20 muncul
organisasi perempuan modern seperti Puteri mardika pada tahun 1912 di Jakarta yang di ikuti oleh
golongan bangsawan. Sesudah tahun 1920 muncul organisasi perempuan di Yogyakarta yang
bernama Aisyiyah yang berjuang dlam gerakan pembaharuan islam muhamadiayah.
Tranformasi atas kesadaran politik organisasi perempuan ditandai dengan Kongres Perempuan I tanggal 22-23 desember 1928 di Yogyakarta yang di wakili oleh
organisasi perempuan seperti; Wanito Utomo, Puteri Indonesia, Wanita Katolik,
Aisyiyah, Serikat istri buruh Indonesia, jong java, Wanita Taman siswa. Kongres
ini membahas mengenai persamaan derajat yang akan dicapai dalam suasana
masyarakat yang tidak terjajah. Persamaan antara peran laki2 dan perempuan
dalam rumah tangga dan juga dalam pembagian tugas kerja. Di dalam kongres ini
pun menandai sejumlah pergeseran berkaitan dengan cara-cara perempuan indonesia
dalam merumuskan gender.
Tahun 1932
organisasi prempuan semakin maju, Istri Sedar dalam perjuangan tidak hanya
berjuang dan begerak untuk kepentingan kaum prempuan semata, tetapi ikut
terlibat langsung di garis depan untuk memperjuangkan kemerdekaan nasional. Organisasi ini menjadi
cikal bakal organisasi gerakan wanita sedar (GERWIS) dan selanjutnya menjadi
organisasi perempuan ternama yaitu
Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) pada tahun 1954.
Gerwani menjadi
orgnaisasi perempuan yang menarik kaum perempuan dari kalangan massa raykat.
Sebab perjuangan Gerwani lebih
mengutamakan memperjuangkan rakyat kalangan menengah kebawah (grosrood). Gerwani mengakui
bahwa politik adalah bidang yang sah untuk perempuan, sejak tahun 1955 gerwani
mengambil keputusan untuk tidak hanya bergerak untuk penuntutan persamaan hak
tetapi juga terlibat aktif dalam politik bangsa. Sehingga pada politik pertama
tahun 1955 Gerwani melakukan kampanye pemilihan umum. Mendukung pemerintah
untuk pembebasan irian barat dari jajahan kolonial dan mengirimkan anggotanya
menjadi sukarelawan dalam konfrontasi malaysia (ganyang malaysia).
Gerakan perempuan revolusioner
Gerwani merupakan
organisasi perempuan yang berani ikut serta salam perjuangan untuk kemerdekaan.
Keberanian inilah yang akhirnya menjadikan organisasi ini disebut sebagai
organisasi yang revolusioner. Gerakan bawah tanah yang dilakukan selama
pendudukan Belanda dan ikut serta berjuang mewujudkan cita2 kemerdekaan sejati
bagi tanah air dan bangsa.
Sesungguhnya
Gerwani secara organisasi bertujuan untuk mewujudkan cita-cita kaum perempuan
untuk bersikap lebih aktif, kreatif dan pandai khusus nya untuk keluarga atau
rumah tangga mereka. Sehingga kaum perempuan tidak direndahkan oleh laki-laki,
stereotip bahwa perempuan hanya dalam lingkaran dapur dan kasur saja, tetapi
mampu bekerja diluar sektor itu. Terbukti dengan semboyan yang dimilikinya “organisasi
pendidikan dan perjuangan”. Gerwani menghendaki agar kaum perempuan mampu
berdiri sendiri dan mampu bekerja keras dan berpendidikan tidak hanya menjadi
pengikut suami atau embel-embel suami.
Gerwani bukan PKI
merupakan penegas bahwasanya organisasi perempuan ini berjuang aktif untuk
kepentingan masyarkat, khususnya masyarkat miskin atau kelas pinggiran. Tetapi
karena gerakanya yang berani dan forntal juga progresif menjadikan Gerwani di
minati oleh berbagai partai politik seperti PKI. Kesamaan perjuangan yang
memebela kaum pinggiran menjadikan Gerwani dalam kisahnya sebagai underbow PKI.
Perjuangan Gerwani yang
menitik beratkan pada hak2 perempuan untuk juga diperhatikan misalnya dalam
mengingnkan pendidikan, upah yang layak, dan lainya mengingat perempuan adalah
seorang yang memiliki tanggung jawab besar dalam lingkungan kecil rumah
tangganya. Sebagai seorang istri, ibu dan pekerja. Perjungan Gerwani yang
mengharpatkan persamaan hak inilah menjadi terpental karena keberanianya dalam
menyuarakan hak2 nya, meskipun dengan jalan menjadi anggota dewan dalam
pemerintahan. Kemudian dengan massa yang cukup banyak menyuarakan penurunan
harga bahan pokok yang dinilai mencekik orang2 miskin, ikut aktif memberla
negara sebagia sukarelawan pembebasan irian barat dan lainya. Sehingga
keberanian inilah yang memaksa Gerwani menjadi organisasi revolusioner dalam
gerakanya.
Buku ini adalah suatu buku yang sangat baik untuk dibaca bagi kalangan
akademisi, aktifis gender maupun para politisi perempuan di Indonesia. Dengan membaca buku ini, kita dijaka untuk
sejenak bercengkrama dengan masa lalu, dimana perjuangan perempuan tidak
semudah membalik telapak tangan, tetapi selalu diwarnai dengan dinamika yang
terkadang menyebabkan timbul tenggelamnya perjuangan memperjuangan harkat kaum
perempuan itu sendiri.